Bertawassul dengan Orang-Orang Shalih
Terdapat beberapa dalil yang menyebutkan keutamaan bertawassul. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [2]
Dan dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا [3]
Dalam riwayat Anas bin Malik disebutkan:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ[4]
Kemudian Abbas memanjatkan do’a:
اللهم إنه لم ينزل بلاء إلا بذنب، ولم يكشف إلا بتوبة، وقد توجّه القوم بي إليك لمكاني من نبيك، وهذا أيدينا إليك بالذنوب، ونواصينا إليك بالتوبة، فاسقنا الغيث[5]
Di hadapan Allah SWT manusia adalah sama, baik saat mereka masih hidup maupun sudah meninggal. Al Qur’an menegaskan bahwa orang-orang yang meninggal sebagai syahid dan orang-orang shalih itu tetap hidup dan tidak mati. Bukankah baik yang mati maupun yang hidup adalah sama-sama ciptaan Alah SWT yang tidak memiliki peran apa-apa sama sekali, karena yang berperan satu-satunya hanyalah Allah SWT.[6]
Allah SWT berfirman:
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ[7]
Dalam ayat lain disebutkan :
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ[8]
Tidak ada perbedaan antara bertawassul dengan Rasulullah SAW dengan rasul lainnya, demikian juga antara para nabi dan orang-orang shalih, baik saat mereka hidup maupun setelah meninggal, karena mereka memang tidak dapat menciptakan maupun memiliki peranan sama sekali. Keberkahan diharapkan dari mereka karena mereka adalah para kekasih Allah SWT. Jika ada yang meyakini bahwa mereka dapat berperan saat masih hidup dan tidak ketika telah meninggal, maka sama dengan meyakini orang hidup dapat berperan. Dan keyakinan yang demikian berarti telah tercemari unsur kemusyrikan.[9]
Orang yang bertawassul tidak dapat dimasukkan dalam firman Allah SWT:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى[10]
Pengakuan mereka bahwa mereka “tidak menyembah berhala-berhala itu melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah” jelas-jelas berupa penyembahan. Sedangkan orang yang berwasilah kepada dengan nabi atau orang shalih sama sekali tidak menyembah mereka.[11]
Berdasarakan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan hadits bertawassul hukumnya boleh, bahkan dianjurkan sebagai salah satu cara berdo’a kepada Allah SWT.
[1] Al Fajru As Shadiq, hal. 53-54
[2] QS Al Ma’idah; 35
[3] QS An Nisa’; 64
[4] Shahih Al Bukhari, nomor 954
[5] At Tahdzir min Al Ightirar, hal 125
[6] Kasyf an Nur ‘an Ashab al Qubur, hal 13
[7] Qs Ali Imran; 169
[8] QS Al Baqarah; 154
[9] Syawahid al Haq, hal. 158-159
[10] QS Az Zumar; 3
[11] At Tahdzir min Al Ightirar, hal. 113