Apel Gus Dur

Gus Dur dan Mbah Liem
Gus Dur terkenal sebagai orang yang dalam kedudukan apa pun cenderung “seenaknya sendiri”. Hal itu boleh dikata merupakan sumber utama kontrovesi-kontroversinya. Beliau “anti kerumitan”. “Gitu saja kok repot”, katanya.
NU dibawah beliau sering dianggap sebagai periode yang secara administratif “paling kacau-balau”. Tapi alangkah sulit mengingkari kenyataan bahwa periode itulah salah satu zaman keemasan NU.
Nah, Gus Dur mengorganisir NU dengan cara apa?

Pertengahan 1980-an, Gus Dur belum lama menjadi Ketua Umum PBNU. Jangankan HP, telepon rumah pun masih agak jarang. Kyai Mansur Hafidh, Rembang, sowan ke kediaman Mbah Lim (Kyai Muslim Rifa’i Imampuro) di Karanganom, Klaten.
Walaupun waktunya tanggung –pagi sudah tidak, siang juga belum– Nyai Muslim berepot-repot menata hidangan makan lengkap untuk menghormati tamunya. Tapi begitu hidangan siap, Mbah Lim malah menggelandang Kyai Mansur keluar rumah. “Menatanya disini… makannya di Jombang… menatanya disini… makannya di Jombang…”, kata Mbah Lim, lalu menarik tamunya masuk “mobil Hunter” –sedan Ford tua mirip kepunyaan detektif Hunter dalam serial televisi yang populer waktu itu.
Mobil pun langsung nggeblas ke arah Timur. Diam-diam Kyai Mansur menyesali nasib, teringat betapa diantara hidangan yang disiapkan Nyai tadi ada buah apel ranum kesukaannya.

Masuk Jombang sudah menjelang sore. Gus Dur sudah berdiri di halaman rumah ketika tamu-tamunya datang. “Sudah saya tunggu-tunggu”, katanya, “kita langsung makan!” Kyai Mansur plenggang-plenggong. Berjalan menuju pintu rumah, ia sempatkan nyeletuk bertanya, “Kok panjenengan tahu kalau kami berangkat dari Klaten tadi mau makan?” Gus Dur cuma senyum-senyum. “Saya juga punya apel lho!”, katanya.

Foto: Gus Dur, Mbah Liem (gak kopiah)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel