Bersyariat Tanpa Hakikat Adalah Fasiq Dan Berhakikat Tanpa Syariat Adalah Zindiq

Maulana Syeikh Ali Jum’ah
“Barang siapa menjalankan syariat tanpa hakikat maka ia fasiq, dan barang siapa menjalankan hakikat tanpa syariat maka ia zindiq”.

Orang yang menjalankan hakikat tanpa syariat disebut zindiq, karena syariat merupakan salah satu pokok utama perjalanan menuju Allah Ta’ala. Syariat adalah start dari segala tahapan setelahnya, dan di situlah tersimpan segala yang diakui baik. Ia tidak boleh ditinggalkan. Syariatlah yang melegalisasi perjalanan sufi, sekaligus yang menjawab tuduhan tidak benar yang diarahkan kepadanya. Dan seharusnya kita melihat perjalanan sufi yang sedang menapaki jalan menuju Allah dengan hal ini.

Zindiq, sebetulnya ia adalah nama lain dari munafik, nama lain juga untuk ‘adamiy. ‘Adamiy adalah orang yang sholat, di samping ia juga melubangi tanah. Apa maksudnya?
Di antara bentuk pencurian dan kriminal paling berbahaya adalah perbuatan seseorang yang sengaja menyewa rumah di dekat rumah orang kaya, lalu membuat terowongan bawah tanah dari rumah sewaannya menuju rumah orang kaya tersebut untuk mencuri harta berharga di dalamnya atau melakukan kejahatan lainnya. Pelaku tidak memilih lewat jendela, pintu, atap, atau jalur lain yang lebih mudah. Ia justru memilih untuk lewat bawah tanah, yang mana pilihannya ini membutuhkan waktu panjang, alat tertentu, dan keahlian khusus. Maka pelaku kejahatan semacam ini benar-benar seorang kriminalis nyata, profesional dalam kejahatan, dan tangguh untuk terus berbuat jahat, karena dia memiliki keahlian, kesabaran, dan waktu yang siap diluangkan. Orang seperti ini akan sulit untuk bertaubat.

Orang dengan kejahatan semacam ini yang telah mendarah daging dan sulit terlepas darinya, jika dia dikenal sebagai orang yang rajin shalat, maka shalatnya tidak lain hanyalah untuk menyembunyikan kejahatannya. Dan hal ini justru menambah dosa baginya, karena telah menjadikan amalan agama untuk melancarkan aksi kriminalnya. Inilah makna ungkapan “shalat, tapi melubangi tanah”. Artinya bahwa baginya shalat hanyalah alat untuk menyembunyikan kejahatannya. Orang inilah yang disebut Zindiq.

Orang dengan sifat kontradiktif semacam ini, yang tidak menyesali perbuatannya, enggan kembali ke jalan yang benar, terus melakukan kemaksiatannya, merasa nikmat dengannya, dan menganggapnya halal adalah seorang yang zindiq. Begitulah juga gambaran orang-orang yang meninggalkan syari’at, namun menganggap diri mereka berada dalam kebenaran, menganggap antara Allah dan mereka terdapat kebaikan, merasa tidak lagi butuh pada syari’at ini, karena mereka menyangka bahwa mereka telah sampai kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sama sekali tidak seperti yang mereka kira. Justru orang semacam itu adalah dajjal dan zindiq, sebagaimana dikatakan oleh para Ulama.
Batasan-batasan ini dibuat untuk melindungi kita selama menapaki jalan menuju Allah dari godaan setan, ajakan membuat suatu bid’ah, atau rayuan kesesatan yang menginginkan kita supaya berpaling dari Allah, Rasul, dan syariat-Nya.

Sayangnya, sebagian orang demi menghindari godaan dan ajakan sesat tersebut justru menutup rapat pintu Tasawuf, yang dengan begitu mereka menuntup kebaikan yang amat besar bagi diri mereka. Padahal Allah menurunkan syariat-Nya untuk membentengi perjalanan spiritual para hamba-Nya dari penyimpangan. Karena perjalanan Tasawuf inilah yang menyinari hati dan membuatnya dalam ketenangan sejati. Ialah yang menuntun pada kebahagiaan hakiki, menjadikan hamba terhormat di sisi Tuhannya, juga bagi dirinya sendiri. Allah Subhanahu wa ta’ala dalam penghormatan-Nya terhadap hamba-Nya berfirman dengan lisan Rasul-Nya: “Sesungguhnya Allah membanggakan (manusia) di hadapan malaikat-Nya”. Dan Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dengan memandang ke Ka’bah: “Betapa besarnya penghormatan Allah kepadamu (wahai Ka’bah). Tapi sungguh, darah seorang muslim lebih terhormat di sisi Allah daripada engkau”. Allah Subhanahu wa ta’ala mencintai ciptaan-Nya. Dan yang lebih dicintai Allah di antara ciptaan-Nya adalah yang ta’at kepada-Nya. Dan yang lebih dicintai-Nya di antara yang ta’at kepada-Nya adalah yang mewujudkan ubudiyah di dalam hatinya. Dan hal tersebut tidak mungkin terwujud kecuali buah dari ibadah.

Maulana Syeikh Ali Jum’ah

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel