Wujudul Hilal, Metode Hisab Kuno Muhammadiyah yang Bikin Umat Terbelah

Pada hari ini, Ramadhan hari ke-29, sudah menjadi tradisi diadakannya rukyatul hilal oleh pemerintah dengan menyebar pengamat di berbagai titik di wilayah NKRI tercinta ini. Banyak kalangan menganggap kegiatan ini dianggap mubazir dan cuma memboroskan anggaran. Apalagi ditambah sidang itsbat yang bersifat ceremonial belaka.

Yang paling sering terjadi adalah sad ending: Muhammadiyah tetap dengan hasil hisab mereka yang menetapkan tanggal 1 Syawal jauh-jauh hari, sedangkan NU dan pemerintah memutuskan berdasarkan hasil rukyatul hilal tersebut. Bila beruntung, NU-Muhammadiyah berlebaran bersama, bila zonk, maka lebaran masing-masing.

Lalu tidak bisakah ummat Islam disatukan? Apakah NU memang tidak bisa menerima hasil hisab dan harus melakukan rukyah tiap-tiap penentuan awal bulan? Kalau ini pertanyaan Anda jawabannya adalah bisa, dan NU sudah sejak lama juga menggunakan metode hisab, bahkan banyak ahli-ahli hisab NU, yang “boleh jadi” lebih mumpuni daripada ahli hisab Muhammadiyah. Di pesantren-pesantren salaf NU (bukan salafi yang satunya) misalnya, hisab adalah sebuah pelajaran wajib sejak dulu. Mereka diajari dasar-dasar ilmu Falak menggunakan rubu’ (alat berbentuk seperempat lingkaran) untuk penentuan waktu dan tanggal.

Rubu’

Jadi sudah sejak lama NU membuat penanggalan dan menentukan waktu sholat menggunakan hisab. Dan kalau Anda bertanya hari ini apakah NU sudah tahu, hari apa dan tanggal berapa di kalender Masehi tahun depan, 1 Syawal ditentukan? Sudah! Dan metode NU lah yang sudah terbukti yah katakanlah 90% akurat dan sesuai dengan hasil rukyat selama ini.

Lalu apa bedaya dengan metodenya Muhammadiyah? Mari kita telaah bersama.

Penentuan awal bulan puasa dan awal lebaran adalah berdasarkan hadits Abu Hurairah berikut ini:

حَدَّثَنَا عَبَّاسٌ ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ يُوسُفَ ، قَالَ : حَدَّثَنِي عِيسَى بْنُ عُمَرَ ، عَنِ السُّدِّيِّ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلاثِينَ

Dari Abbas, dari Muhammad bin Yusuf, dari Isa bin Umar, dari Suday, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dia berkata: Bersabda Rasululloh Saw: Berpuasalah kamu karena melihatnya (hilal), dan berbukalah (berlebaranlah) karena melihatnya, dan bila penglihatanmu terhalang mendung, maka genapkan hitungan (Sya’ban dan Ramadhan) 30 hari.

Kesahihan hadits ini sudah disepakati baik oleh NU maupun Muhammadiyah. Jadi jelas, penentuan awal bulan Ramadhan dan Syawal adalah dengan melihat hilal. Frasa “melihat” ini tak terbantahkan dan menjadi dasar pengambilan hukumnya.

Nah, para ahli hisab NU dan beberapa ormas lain – selain Muhammadiyah – berpendapat bahwa hisab tidak boleh meninggalkan unsur “melihat” ini. Jadi harus ditentukan awal bulan dengan ditentukan -secara perhitungan- posisi hilal saat itu bisa dilihat dengan rukyah. Jadi walaupun hilal sudah terbentuk, tapi secara perhitungan tidak visible (tidak bisa dilihat), maka dianggap kita belum melihat hilal, dan bulan akan digenapkan 30 hari. Ini adalah prinsip imkanur rukyah (menentukan awal bulan dengan menentukan -secara hisab- posisi hilal sudah mungkin dilihat). Untuk itulah masih diperlukan rukyah beberapa tahun ke depan, sebagai pembanding dengan hasil hisab , sehingga suatu saat akan ditemukan kesepakatan berapa derajat hilal yang paling mendekati hasil rukyah. Dan ini semua sedang berproses menuju terciptanya kalender Hijriyah nasional, bahkan internasional (beberapa negara dalam satu zona waktu yang sama).

Muhammadiyah, yang biasanya sangat berpegang teguh dengan isi hadits, untuk kasus yang satu ini sebaliknya. Metode hisab Muhammadiyah menggunakan prinsip wujudul hilal. Jadi bila secara hisab hilal sudah wujud, walaupun sangat tipis dan tidak mungkin terlihat dengan metode rukyah, mereka tetap menentukannya sebagai awal bulan. Muhammadiyah mengabaikan unsur “melihat” dalam hadits di atas.

Sayangnya, metode kuno ini dipegang terlalu teguh oleh Muhammadiyah, sampai-sampai mengorbankan persatuan ummat. Dengan kengeyelannya, Muhammadiyah jauh-jauh hari telah mengumumkan awal Ramadhan dan awal Syawal berdasarkan metode ini. Sayang sekali lagi, pengumuman ini sengaja diekspos dan terang-terangan, sehingga bila suatu ketika, dan itu sering terjadi, berbeda dengan pemerintah, maka sudah pasti terjadi “perpecahan” di kalangan ummat. Mungkin akibatnya tidak begitu massif bila Muhammadiyah melakukannya secara intern tanpa ribut-ribut di luaran.

Celakanya, stigma di mata masyarakat awam beranggapan bahwa Muhammadiyah lah yang benar, modern, praktis dan berpotensi menyatukan ummat, dengan metode hisabnya yang hebat. Dan NU dikesankan kuno, tak mengakui hisab dan tidak praktis, karena tiap awal bulan harus melakukan rukyah. Bahkan ada ujaran (atau umpatan?) di medsos yang menyuruh NU melakukan rukyah di semua awal bulan Hijriyah, bukan cuma awal Ramadhan dan Syawal, saking antipatinya mereka.

Yang membuat sedikit lega adalah fakta bahwa setelah beberapa tahun ummat Islam Indonesia berbeda dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal, kini selama delapan tahun sampai 1442 H/2021 M kemungkinan besar akan seragam. Namun bukan karena telah tercapai persatuan umat secara hakiki, tetapi karena posisi bulan yang memungkinkan keputusan pemerintah dan ormas-ormas Islam bersepakat.

Tulisan ini tidak bertujuan muluk-muluk untuk menyatukan ummat. Hanya sekedar ungkapan hati dan keprihatinan atas perbedan yang cukup mengganggu di masyarakat ini. Juga tidak berniat menjelek-jelekkan Muhammadiyah dan memicu perpecahan ummat. Saya hanya ingin (ya cuma bisa ingin) semua pemimpin ummat bisa duduk bersama menyamakan persepsi tanpa ada salah satu yang merasa paling benar sendiri. Buanglah semua ego golongan demi kepentingan yang lebih besar.

Suatu hari, seorang pedagang di pasar Sekampung (ini di pedalaman Lampung Timur hehe) pernah berucap “Maaf ya mas, saya udah lebaran hari ini, tapi saya sayang melewatkan prepekan, jadi saya shalat Iednya ikut pemerintah besok aja” sambil dengan santainya makan cemilan. Lha saya yang denger cuma cengar-cengir sambil berdo’a semoga hal seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi di masa depan. Amin!

Noor Cholis

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel